TOPTIME.CO.ID, JAKARTA – Menurut salah satu tokoh agama di Papua, Safar Furuada, di Pesisir Papua telah mengalami proses kepemimpinan dari suku, kerajaan dan akhirnya masuk dalam kepemimpinan resmi NKRI, sehingga tiga masa kepemimpinan itu sudah terbentuk lebih moderat kepada hal-hal yang datangnya dari luar. Berbeda dengan teman-teman lainnya yang di pegunungan yang prosesnya dari kepemimpinan suku langsung ke NKRI, sehingga boleh jadi itu mempengaruhi.
“Nilai budaya tradisi telah tertanam turun temurun, sehingga ada suatu anggapan atau semboyan yang menyatakan bahwa sebenarnya saudara kami dari Nusantara yang datang ke Papua, mereka pada hakekatnya bukanlah pendatang, melainkan anak-anak negeri yang ada di sini dulunya, mereka keluar dan saat ini kembali. Sehingga karakter itu membuat kami cepat membuka diri untuk menerima kembali saudara-saudara kami. Di saat yang sama orang Kaimana terutama, menyebut pulau Papua itu sebagai Nuar atau Nu Eva (pulau Ibu) yang melahirkan pulau-pulau yang lain.” Terangnya.
Ia juga menceritakan bahwa secara umum hubungan toleransi di Papua sudah cukup baik. Kehidupan sosial antar suku, agama dan golongan sudah cukup baik. Jika membangun masjid selalu ada uluran tangan dari masyarakat yang beragama lain terutama kristiani, itu biasa.
“Bahkan kadang-kadang mereka tersinggung kalau hajat mendirikan bangunan mereka tidak diundang. Karena mereka satu persaudaraan seperti tercermin dalam semboyan -satu tungku tiga batu- yang sudah mandarah daging dalam masyarakat Papua. Ada ungkapan kalau belajar toleransi, belajarlah pada masyarakat Papua, karena telah mempraktekkan toleransi yang riil yang tidak dimuat dalam buku-buku.” Papar tokoh Papua yang juga aktif dalam pengembangan Pendidikan di Kaimana.
“Rasa kebangsaan, jiwa memiliki negara ini telah terpatri sejak awal karena kami bagian dari negara ini yang secara adat kami telah mengalami kebersamaan yang kuat. Karena itu dengan kedatangan saudara kami ke Papua justru menambah semangat kebangsan (wathaniyah) dan juga membantu semangat dakwah di tanah Papua dengan menjalin hubungan yang baik dengan umat agama lain. Karena itu, adanya Otsus jilid II kami berharap menambah gairah, semangat membangun di Kawasan timur Indonesia, terutama pembangunan dalam bidang keagamaan. Kita berharap Papua menjadi barometer toleransi dan Indonesia menjadi negeri yang Makmur dan sejahtera.” Ujar tokoh agama yang berharap dibangun kampus perguruan tinggi di Kaimana.
Sebagai tokoh agamawan di Papua, Prof. Dr. H. Idrus Al Hamid, M.Si, mengatakan bahwa perjumpaan agama-agama di Papua selama ini telah melahirkan harmoni dan kebersamaan serta toleransi yang cukup baik. Dengan memahami adanya masyarakat Papua yang memiliki topografi yang berbeda-beda, yaitu masyarakat pesisir, rawa, leren gunung dan pegunungan, penulis buku jalan panjang Perdamaian Papua ini optimis dengan kearifan lokal masing-masing, masyarakat Papua mampu membangun kehidupan yang penuh toleran.
“Keberadaan agama justru menjadi bagian yang tidak menjadi pembeda. Bahkan dalam beberapa hal, kegiatan keagamaan dijadikan sebagai kegiatan bersama walaupun berbeda-beda agama.” ujar salah satu penggagas zona integritas kerukunan umat beragama dan budaya Papua tersebut.
Meskipun terkadang terjadi gesekan antata masyarakat adat dan metropolis, antara pribumi denga perantau, dan politisasi identitas, namun Idrus al Hamid telah merintis pencanangan zona integritas kerukunan umat beragama, membangun inter-religius diaof dan melakukan penguatan toleransi berbasis kearifan lokal.
“yang terpenting jangan menyakiti jika tidak ingin disakiti. Pahamilah bahwa manusia adalah sumber peradaban.” pesannya bagi seluruh elemen masyarakat di Papua.
Pernyataan tersebut terungkap dalam acara yang dikemas dalam Webinar Internasional bertajuk “Tolerance in Indonesia (Papua) and Morocca: Experience perspective” ini dimaksudkan agar dunia internasional tidak melihat Indonesia khususnya Papua sebagai negara yang penuh kekerasan, mencekam dan penuh konflik. Namun, justru telah menumbuhkan semangat persatuan dan kerukunan di kalangan masyarakat, terutama generasi muda serta menanamkan nilai dan arti dari universalisme agama dalam nilai-nilai kemanusiaan.
Kegiatan Webinar International yang live di Channel Youtube INC TV dan NU Channel pada 28/07 menghadirkan Prof. Dr. Khalid Touzani (Cendekiawan Moder Maroko, Penulis Buku Toleransi Antar Agama, Peraih Nobel Syekh Sidi al Mukhtar al Kunti For Global Culture, Direktur of Marocan Center for Cultre Investment, dan Angggota Liga Arab), Prof. Dr. H. Idrus Al Hamid, M.Si (Rektor dan Guru Besar IAIN Fattahul Muluk Papua, Dr. Muhammad Shofin Sugito (Akademisi UIN Maulana Hasanudin Banten), dan Dr. Alvian Iqbal Zahasfan (Host)
Dalam Webiner yang diselenggarkan INC TV terungkap bahwa tidak benar jika Papua hanya dipenuhi dengan konflik, kekerasan, dan keterbelakangan. Seolah-olah kehidupan di Papua sangatlah tidak bersahabat dan menjadi ladang penindasan. Padahal, Papua adalah tempat yang sangat damai dan harmonis. Jikalau saja kita mengenal orang Papua dengan lebih dekat, maka akan didapatkan kehangatan sebuah persaudaraan yang tanpa pamrih dan apa adanya. Mereka memperlakukan orang lain sebagai keluarga sehingga menjaga harkat, martabat dan kehormatan diri sendiri sama dengan yang dilakukannya untuk orang lain.
“Kenyatan bahwa toleransi yang berkembang di Papua terjadi sampai detik ini menjadi alasan kenapa kami selenggarakan acara ini.” jelas panita penyelenggara dari INC TV, M Taufan. (Tim)